RUU BPIP Dibutuhkan Untuk Pembinaan Pancasila
Pancasila sebagai ideologi dipandang sebagai sesuatu yang final dan tidak memerlukan berbagai tafsir akan isinya. Namun, untuk pembinaan Pancasila dibutuhkan perundangan yang mengatur teknis dari pembinaan maupun organ yang melaksanakan. “Satu hal yang harus disepakati bahwa kita sudah tidak memerlukan tafsir-tafsir mengenai Pancasila. RUU BPIP (Rancangan Undang-Undang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila) sendiri merupakan suatu RUU teknis yang disiapkan untuk ‘memayungi’ BPIP,” terang Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat pada acara Prime Talk bertajuk ‘Berdaulat dengan ideologi Pancasila yang kuat’, yang disiarkan Metrotv, pada Rabu (22/7).
Lestari pun menuturkan bahwa pemerintah telah menyatakan saat ini dibutuhkan bukan RUU yang terkait Pancasila sebagai ideologi, melainkan sebuah payung hukum yang sifatnya teknis. Payung hukum tersebut diharapkan memberikan kekuatan agar BPIP dapat menjalankan tugas dan fungsinya. Pada saat yang sama para pimpinan MPR pun sepakat bahwa Indonesia tidak membutuhkan RUU yang berbicara mengenai haluan ideologi, sebab Pancasila merupakan dasar negara dan sudah final. Lebih lanjut, Lestari menekankan dalam membentuk RUU teknis perlu membuka seluas mungkin ruang publik dan melibatkan seluruh elemen bangsa. “Perlu dilakukan kajian-kajian yang mendalam untuk menimbang seperti apa baik buruknya. Misalnya, jangan sampai RUU ini menjadi kontraproduktif, apakah bentuknya menjadi suatu badan dan hal lainnya,” terang Lestari.
Lestari memandang perlu dibuat suatu perundangan bagi BPIP antara lain untuk menghindari pergantian kebijakan pada pemerintahan baru dan untuk memudahkan BPIP mencapai arah dan tujuan awal BPIP didirikan. Dalam kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Pusat Pengkajian Pancasila Universitas Jember, Bayu Dwi Anggono memandang kebutuhan akan UU teknis pembinaan Pancasila sangat urgent.
Ia mencontohkan beberapa pembinaan lainnya yang sudah diatur oleh UU, misalnya pembinaan kepramukaan hingga pembinaan kepustakaan. Karena itu, ia menilai pembinaan Pancasila juga layak masuk UU. Selain itu, jelasnya, dengan meningkatkan status hukum BPIP dari Perpres ke UU, partisipasi publik akan sangat terbuka dalam memberikan masukan. Semua pihak bisa ikut serta dalam menentukan tentang metode pembinaan. Selain itu, kata Bayu, bila BPIP diatur dalam undang-undang akan lebih mudah DPR dan masyarakat melakukan pengawasan.
“Terlebih Pancasila harus menjadi ideologi yang bekerja (working ideology). Untuk itu perlu diyakini terlebih dahulu rasionalitasnya atau kebenarannya oleh seluruh bangsa indonesia dan dipraktikkan dalam kehidupan sehingga menjadi ideologi yang bekerja,” ujar Bayu.
Koordinasi dan sinkronisasi Lebih lanjut, Bayu menekankan bahwa isi dari UU bukan lagi menafsirkan sila-sila di Pancasila karena posisi Pancasila di atas UUD. BPIP perannya akan lebih kepada koordinator dalam pembinaan ideologi Pancasila. Dalam UU tersebut harus mengatur soal koordinasi dan sinkronisasi antarlembaga negara dalam proses pembinaan. Selain itu, mengatur tentang penyusunan standarisasi pendidikan dan pelatihan serta kerja sama antarlembaga. “Tentu dalam pembinaan butuh perencanaan, arahnya bagaimana, siapa melakukan peran apa, standarisasi pendidikannya seperti apa. Selama ini semua lembaga memang melakukan pembinaan, tetapi hanya berdasarkan bidangnya masing-masing, namun belum ada lembaga yang koordinatornya,” ujar Bayu. Guru Besar Fakultas Hukum UNPAD, Romli Atmasasmita mengingatkan jangan sampai niat dan tujuan yang baik mengubah payung hukum BPIP pada akhirnya tidak efektif sebagai UU. Hal tersebut harus diperhitungkan karena yang diatur terkait dengan ideologi dan bukan barang atau suatu komoditi. Bahkan, menurutnya, penyusun RUU nantinya harus betul-betul mempertimbangkan berbagai kemungkinan ketika UU tersebut disahkan, termasuk adanya gugat¬an ke Mahkamah Konstitusi.
Tidak ada komentar: